Meneladani Filsafat Dakwah Sunan Kalijaga




  Di dalam ilmu pewayangan (Wayang Kulit), ada seorang Publik Figure (Uswatun Hasanah) yang bernama Prabu Puntodewo. Ia seorang tokoh religius, sekaligus menjadi figur central dikalangan (kerajaan) Ngastino. Tutur-katanyanya sangat santun dan lembut, wajahnya selalu merunduk manakala berjalan. Ia senantiasa memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi busana kepada orang telanjang, memberi payung pada orang yang kepanasan dan kehujanan. Begitu sempurna sifat yang dimiliki oleh ‘’Puntodewo”, sehingga sang dalang sering menyebut dengan istilah ”Kun Ta Da’iyan” yang artinya “jadilah kalian orang yang selalu mengajak kebaikan (dakwah)”.
Mohon untuk tidak dibaca ketika khutbah
 
Pekerjaanya selalu mengajak kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Ia juga menjadi sosok pemimpin yang patut diteladani oleh masyarakat, sekaligus menjadi contoh bagi adik-adiknya yang terhimpun dalam ‘’Pendowo Lima”. Mereka ialah, Puntodewo, Warkudoro, Arjuno (Janoko), Nakulo dan Sadewo.

Sosok Puntadewo  ini  tidak lepas dari Figur sang Wali (Raden Mas Said), kanjeng Sunan Kalijogo sang perintis wayang kulit. Jadi, sosok pemimpin itu mesti memiliki sifat-sfat mulia sebagaimana Puntodewo yang senantiasa berdakwah, turun gunung memberikan penyuluhan agama kepada rakyatnya.
Kanjeng Sunan Kalijogo sosok ulama’ yang sangat cerdas di dalam menganalisis sebuah masalah dakwah. Ketika beliau melihat masyarakat Jawa masih menyukai budaya wayang. Beliau tidak lantas melarang, atau membiarkan begitu saja. Justru kesukaan itu menjadi inspirasi dakwahnya. Tanpa menyakiti, atau menyinggung perasan orang lain beliau mencoba menawarkan budaya wayang, dengan kemasan atau alur yang memberikan pencerahan moral. Tujuannya ialah, aagar supaya pesan-pesan agama, seperi; Sahadatain di kemas dengan ”Jamus Kalimu Sodo” yang artinya dua kalimah Sahadat.
Jadi, upaya Kanjeng Sunan tidak sia-sia. Pendekatan budaya itu membuahkan hasil signifikan terhadap perkembangan Islam, hingga kemudian Islam     berkembang     pesat   hingga   ke
pelosok nusantara. Islam bukan lagi agama orang kampung, tetapi Islam mampu merambah kepada para elit kerajaan. Kesantunan Islam menjadi salah satu daya tarik setiap orang.
Sebuah kewajaran jika Kanjeng Sunan menyampaikan pesan-pesan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya Wayang Kulit. Karena pada waktu itu masyarakat mengandrungi budaya. Karena obyek dakwahnya orang-orang Jawa, maka beliau tidak menggunakan bahasa Arab, walaupun beliau tahu dan mampu menggunakan bahasa Arab. Di dalam literatur sejarah, tidak pernah ditemukan pesan-pesan (ceramah), dawuh Kanjeng sunan menggunakan bahasa Arab.
Kanjeng Sunan lebih suka menggunakan bahasa Jawa, bukan berarti beliau tidak suka dengan bahasa Arab, atau bahasa Melayu. Beliau lebih sreg dengan menggunakan bahasa Jawa. Pesan-pesan beliau yang tertulis juga menggunakan bahasa Jawa. Di dalam realitasnya, beliau mampu memberikan teladan kepada masyarakat sekitarnya. Beliau pernah menyampaikan sebuah pesan terkait dengan dakwahnya yang berbunyi:”

Mutiara Hadits
Dari Abu Yahya, yaitu Shuhaib bin Sinan r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Amat mengherankan sekali keadaan orang mu'min itu,
sesungguhnya semua keadaannya itu adalah merupakan kebaikan baginya dan kebaikan yang sedemikian itu tidak akan ada lagi seseorangpun melainkan hanya untuk orang mu'min itu belaka, yaitu apabila ia mendapatkan kelapangan hidup, ia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan baginya, sedang apabila ia ditimpa oleh kesukaran (bencana), ia pun bersabar dan hal ini pun adalah merupakan kebaikan baginya."
                                                         [HR.Muslim]        
---

“Yen wis tibo titiwancine, kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal - enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gusti Allah”
Yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
“Jika sudah tiba jamannya di mana sungai-sungai hilang kedalamannya (banyak orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya), pasar hilang gaungnya (pasar orang beriman adalah masjid, jika masjid-masjid tiada azan, wanita-wanita hilang malunya (tidak menutup aurat dan sebagainya) maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa (dari kampung ke kampung), dari pintu ke pintu (dari rumah ke rumah untuk dakwah), janganlah pulang sebelum mendapat hidayah dari Allah Swt.”
Tidak hanya kanjeng Sunan Kalijogo yang menyampaikan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya. Sunan Drajat juga menggunakan pendekatan budaya. Sudan Drajat lebih suka menyampaikan pesan al-Qur’an dan hadis dengan menggunakan bahasa Jawa sebagaimana dicatat oleh sejarah:
”Menehono teken wong kang wuto (buta), Menehono pangan marang wong kang luwe (kelaparan), menehono busono marang wong kang wudo (telanjang), menehono ngiyup marang wong kang kaudanan (kehujajan)”.
Filsafat dakwah para ulama’ terdahulu mendahulukan moral (Haliyah), sehingga lebih mengena terhadap sasaran atau tujuan. Para ulama’ itu juga sangat cerdas di dalam melakukan pendekatan, sebagaimana Nabi melakukan dakwahnya ketika di Makkah. Para ilmuan, seperti Fahruddin al-Rozi, Ibnu Kholdun, al-Ghozali, al-Nawawi senantiasa mengunakan pola yang sedang berkembang kala itu. Semua fikiran (ilmu)nya dituangkan dalam sebuah karya ilmiyah, yang selanjutnya dapat dinikmati hingga saat ini.
Mereka telah tiada, tetapi buah pikiranya masih sangat terasa, bahkan dibaca oleh jutaan manusia dibelahan dunia. Mereka perintis kebaikan, mewarisi ilmunya para Nabi, dan melanjutkan cita-cita Nabi. Sudah pasti, mereka memperoleh aliran pahala (royalti) dari jerih payahnya selama merintis kebaikan kala itu. Nabi pernah menuturkan:
”Barang siapa merintis (sunnah) kebaikan di dala agama Islam, kemudian kebaikan itu dilakukan, maka ia akan memperoleh pahala, serta memperoleh pahala kebaikan orang yang melakukanya sepeninggalnya”.
[H.R Imam Muslim, 2398]


---
Masail Diniyyah
Soal : Bagaimana hukumnya mengkhitankan anak sesudah beberapa hari dari hari kelahirannya?
Jawab : Menkhitankan anak sesudah beberapa hari  dari hari kelahirannya itu boleh. Adapun sunatya adalah sesudah umur 7 hari atau 40 hari atau umur 7 tahun.
Dalam kitab Mauhibah Dzi al-Fadhl diterangkan :
Dalam kitab al-Tuhfah disebutkan, jika mengakhirkan khitan melampaui hari ke tujuh maka dilaksanakan pada hari ke empat puluh dari kelahirannya, kalau tidak maka pada tahun ke tujuh yang merupakan waktu diperintahkannya untuk melaksanakan sholat.
Mohon untuk tidak dibaca ketika khutbah
 
(Ahkamul Fuqoha: 26)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TOLERANSI PARA KYAI NU

KEUTAMAAN AHLI DALEMIPUN(PORO HABAIB&PORO SYARIFAH) KANJENG NABI MUHAMMAD SAW

Profil Singkat Habib Abu Bakar Bin Yahya Geritan