ISTIQOMAH DAN TA'ALUQ PADA GURU
Istiqomah dan taaluq kepada sang guru
Di tulis oleh KH Abdullah Sa'ad
KH. Muhammad Zahid Wedi, Klaten. Seorang teman, saudara, bahkan beliau juga seorang guru bagi saya. Kiai Zahid dan saya adalah saudara tunggal guru. Kami berdua sama-sama mendapat anugerah menjadi muridin Maulana al-Mursyid alHabib Luthfi bin Yahya Pekalongan. Kiai Zahid merupakan cucu al-Mursyid KH. Abdul Mu’id Tempursari, seorang mursyid thoriqoh Syadziliyah. Beliau diambil menantu oleh al-Syaikh KH. Abdul Hadi Klaten, salah seorang murid al-Arifbillah al-Alim al-Allamah al-Mursyid alHabib al-Syaikh KH. Abdul Malik Kedungparuk Purwokerto.
Al-Syaikh KH. Abdul Hadi Klaten dan Maulana al-Mursyid alHabib Luthfi bin Yahya merupakan sahabat tunggal guru saat mengaji di Kedungparuk. Kiai Zahid dengan penuh takdzim memandang al-Syaikh KH.Abdul Hadi lebih sebagai seorang guru, bukan sebatas sebagai mertua. Dengan keberkahan para pendahulu dan keluarga besar beliau, pantaslah Kiai Zahid dibimbing Allah Swt dalam jalan kesholehan.
Namun, jalan yang ditempuh orang-orang sholeh tidaklah mudah.Beliau juga mendapatkan ujian dari Allah Swt, seperti yang dialami oleh para sholihin, berupa kesederhanaan kehidupan di awal-awal masa mengamalkan ilmunya.
Sebagai muridin, Salah satu kewajiban yang harus beliau jalankan adalah memilihara suluk bertemu guru minimal sekali dalam satu bulan. Kiai Zahid berusaha menjaga khidmah kepada guru ini dengan istiqomah. Setiap Jum’at Kliwon.Kiai Zahid bertekad untuk hadir rutinan di Pekalongan, apapun yang terjadi.
Saat, masa-masa awal ngaji kepada Maulana al-Mursyid al-Habib Luthfi bin Yahya, ujian keistiqomahan itu datang. Beliau berangkat ke Pekalongan setiap Kamis Wage, sehari sebelum rutinan. Namun, suatu hari, hingga Kamis Wage, beliau sama sekali tidak memiliki uang untuk berangkat. Kiai Zahid tidak mengeluh dengan kesederhanaan hidup yang harus dijalaninya saat itu, namun hatinya menangis.Terbayang, dirinya yang gagal memilihara suluk seorang murid.
Beliau bertekad menjalani khidmah ini semampunya, bukan semaunya. Semaksimal apa yang dapat beliau kerjakan dan usahakan. Beliau tidak langsung menyerah. Kiai Zahid mandi, kemudian berganti baju dan menyiapkan tas yang berisi pakaian ganti serta perlengkapan ngaji lainnya. Kiai Zahid siap berangkat ke Pekalongan.
Dengan hati yang penuh kerinduan kepada gurunya, beliau keluar rumah dan hatinya menjerit, “Abah2, kulo sampun niat ngaos. Saged kulo namung dugi mriki (Abah, saya sudah niat pengajian.Bisa saya hanya sampai di sini -yaitu di depan rumah-)”. Tiba-tiba, sebuah sedan Corolla kuning berhenti di depan rumah. Ternyata, yang datang adalah al-Maghfurlah KH.Mursyidi Mangkuyudan Solo3, salah seorang badal thoriqoh Maulana al-Mursyid al-Habib Luthfi bin Yahya. Melihat Kiai Zahid yang berpakaian rapi,
Kiai Mursyidi berkata, “Arep ten pundi, Kang?(Akan pergi kemana, Kang?)”.
Kiai Zahid menjawab, “Kulo bade sowan Maulana Habib Luthfi, tindak rutinan Pekalongan (Saya mau pergi ke rutinan Pekalongan)”.
Kiai Mursyidi berkata lagi, “Yen ngono, tak terke tekan Kartosuro, mengko kari numpak bus (Kalo begitu, aku antar sampai Kartosuro, nanti tinggal naik bus ke Pekalongan)”.
Kiai Zahid kemudian ikut naik mobil Kiai Mursyidi. Sepanjang perjalanan, beliau tidak menceritakan kesulitan yang sedang beliau alami. Hati kecilnya sudah berkata,
“Abah, Alhamdulillah saged kulo dugi Kartosuro (Abah, Alhamdulillah kemampuan saya hanya sampai Kartosuro)”.
Namun, setelah mobil sampai di Kartosuro, Kiai Mursyidi memberi hadiah kepada Kiai Zahid, berupa sejumlah uang yang cukup untuk ongkos pulang pergi Pekalongan. Sungguh, beliau menahan tangis keharuan menerima hadiah tersebut.
Akhirnya, beliau sampai di Pekalongan dengan perasaan yang sangat bahagia. Kiai Zahid menjalani kewajiban sebagai murid, yaitu ngaji rutinan, berkumpul dengan muridin, dan berhasil memandang wajah sang guru ruhani. Setelah itu, beliau kembali pulang ke Klaten.
Di lain kesempatan, setelah pulang dari Pekalongan, Kiai Zahid berjumpa kembali dengan Kiai Mursyidi. Beliau kemudian buka-bukaan kepada Kiai Mursyidi tentang kejadian yang sebenarnya. Kiai Zahid mengucapkan terima kasih kepada Kiai Mursyidi, dengan berkata,
“Matur nuwun ya Kang. Yen ora mbok sangoni wingi kae. Aku ora isoh tekan Pekalongan. Aku kae ora duwe sangu (Terima kasih ya Mas. Jika aku tidak kamu beri uang saku kemarin itu, aku tidak bisa sampai Pekalongan. Sebenarnya, saat itu aku tidak punya uang saku)”
Anehnya, Kiai Mursyidi berkata dengan nada serius “Lho, kapan?Ora, aku ora neng omahmu, Kang?(Lho, kapan aku tidak ke rumahmu. Mas)”. Kiai Zahid kaget mendengar jawaban itu, dan berkata,
“Kae lho Kang, pas arep Jum’at Kliwon, nggowo sedan Corolla kuning (Itu lho Mas, sebelum Jum’at Kliwon, bawa sedan Corolla kuning)”. Kiai Mursyidi juga tampak bingung, dan menjawab,
“Lho, Sedan Corolla kuningku wes payu rong wulan wingi (Lho, sedan Corolla kuningku sudah laku 2 (dua) bulan kemaren)”.
Mendengar cerita Kiai Mursyidi di atas, hati Kiai Zahid langsung teringat kepada Maulana al-Mursyid al-Habib Muhammad Luthfi. Sungguh, beliau benar-benar memiliki seorang guru mulia.Guru yang mendengar jeritan hati seorang murid. Guru yang dengan kemuliaannya membimbing muridmuridnya untuk memahami makna sebuah kalimat,
“Istiqomah lebih baik dari 1000 (seribu) karomah”
Tidaklah, seorang guru memperlihatkan karomah yang melekat dalam dirinya, kecuali disebabkan oleh kesungguhan istiqomah seorang murid. Hati seorang murid yang telah terikat dengan gurunya.
Tidaklah, Allah Swt memuliakan para kekasih-Nya dengan karomah, kecuali hasil dari ke-istiqomahan penghambaan dirinya yang tiada putus-putus. Hati seorang hamba yang selalu memandang Allah Swt. Allah Swt berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan Kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan:
“Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”” (Fush-shilat : 30)
Malaikat bukan hanya membisikkan kepada batin Kiai Zahid, ‘jangan takut dan jangan bersedih’, namun menghilangkan kesedihan itu dengan langsung ‘menghampiri’ dan menyelesaikan keperluan beliau.
Komentar