NU dan NKRI Dalam Bahaya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang direbut
melalui, berbagai perjuangan; pemberontakan, peperangan grilya,
peperangan terbuka dan diplomasi yang dilakukan oleh para pendiri negara
kita terdahulu (pahlawan bangsa), tidak dimaksudkan untuk membuat
Khilafah Islamiyah. Mereka sadar betul baik dari kalangan Nahdlatul
Ulama (NU), Muhamadiyah, Persis, Nasionalis dan kelompok lainnya yang
ikut berjuang, merebut kemerdekaan, mereka berjuang hanya untuk satu
tujuan, yaitu Kemerdekaan Indonesia.
Sejarah panjang
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, telah banyak mengorbankan ratusan
ribu jiwa, mereka berjuang tanpa pamrih, tanpa embel-embel ingin jadi
presiden atau mentri, bahkan tidak terpikirkan untuk jadi bupati
sekalipun. Perjuangan mereka semata ditujukan untuk membebaskan diri
dari belenggu penjajahan yang kejam dan tidak berprikemanusiaan.
Ketulusan perjuangan para pahlawan bangsa dalam merebut kemerdekaan, teruang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
prikemanusiaan dan peri keadilan.
Dan perjuangan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat
sentosa menghantarkan Rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan
Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Esa dan dengan didorong oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian dari
pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ke
Tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Ini adalah bentuk
komitmen yang telah dibuat dan dicetuskan oleh para pendiri bangsa ini.
Komitmen ini tidak boleh dikhianati oleh siapapun, kapanpu dan
dimanapun. termasuk oleh kelompok orang yang mengatas namakan agama,
yang ingin membuat Negara Islam Indonesia (NII), dengan jargon Saatnya
Khilafah Islamiyah memimpin dunia.
Pantaskan orang yang tidak
pernah berjuang, mengangkat senjata, memerdekakan Indonesia, kemudian
ingin mengubah NKRI menjadi Khilafah Islamiyah ???
Munculnya
gerakan Islam radikal yang dipengaruhi oleh idiologi Wahabi begitu keras
menggelinding terutama pasca reformasi. Ideologi transnasional, telah
menyeret Ideologi Pancasila sehingga Idiologi Pancasila terancam
kehilangan tajinya, akibatnya NKRI pun hendak diganti Khilafah
Islamiyah.
Akankah kita membiarkan NKRI dan Idiologi Pancasila
diporak porandakan oleh segelintir orang yang Ambisius, haus kekuasaan,
melakukan politisasi agama, menghalalkan segala cara, mengatasnamakan
Islam padahal merusak citra Islam, meledakan bom tanpa berprikemanusiaa
dengan mengatas namakan Jihad fi sabililah ???
Keperihatinan
ini telah mengusik lubuk hati yang paling dalam kalangan Nahdiyyin.
Dalam wasiatnya menjelang berpulangnya ke rahmatullah KH Yusuf Hasim,
putera Hadratus Syaikh Hasyim Hasyim Asy’ari pendiri NU mengatakan: “
Kita harus dapat memotong laju gerakan ideologi kekerasan dari Timur
Tengah dan liberalisme Barat. Karena ked.duanya sama‑sama akan merusak
NU dan NKRI”. Sebab, lanjut KH. Yusuf Hasyim, masuknya ideologi
transnasional ke Indonesia dapat merusak tatanan NU dan Indonesia.
Pemerintah harus menggunakan Pancasila sebagai ideologi yang membatasi
masuknya ideologi transnasional. Sedangkan NU harus terus memperkuat
pemahaman Aswaja‑nya ke seluruh struktur dan kultur di bawah NU.
Mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
yang berdasarkan Idiologi Pancasila, tidak mungkin hanya diserahkan
kepada pemerintah saja. Oleh sebab itu, dibutuhkan partisipasi aktiv
kita semua.
Sudah saatnya kita sebagai bagian dari bangsa
Indonesia, bangkit, bahu membahu, membentengi kedaulatan bangsa, dengan
cara mengeliminir pengaruh ideologi kekerasan dari Timur Tengah dan
liberalisme Barat.
NU sebagai organisasi Islam terbesar di
Indonesia perlu segera mengambil bagian untuk mempertahankan dan
membentengi NKRI dan Idiologi Pancasila.
Ketua Umum PBNU, Drs.
A. Hasyim Muzadi mengisaratkan, bahwa posisi NKRI dan NU sekarang berada
dalam “kepungan” ideologi transnasional: radikalisme Timur‑Tengah;
liberalisme Barat. Menurut beliau radikalisme Timur Tengah dan
liberalisme Barat sama‑sama berpotensi merusak NU dan NKRI.”
Senada dengan Kiai Hasyim, Ketua PBNU, KH. Masdar Farid Mas’udi
menegaskan bahwa NahdIatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di
Indonesia, kini sedang dalam posisi bahaya. Apa sebab, karena ada
pihak‑pihak yang memprovokasi dan mengadu‑domba para tokoh NU dengan
tujuan menciptakan konflik horisontal antar‑warga NU. Basis‑basis NU:
masjid, pesantren, majelis ta’lim hingga. pengajian rutin dikampung
-kampung diprovokasi agar berganti ”baju”, dari paham ahiussunnah wal
jama’ah (Aswaja) ke paham Wahabi atau lainnya.
Kami ingatkan
agar warga NU waspada terhadap kelompok tertentu yang hendak
mengadu‑domba sesama kiai panutan nahdliyin, yang begitu beresiko
menimbulkan konflik horisontal yang sangat keras di lapisan bawah,”
papar Masdar kepada Risalah NU”.
Warning ini mengindikasikan
betapa bahayanya pengaruh ideologi transnasional: radikalisme
Timur‑Tengah; dan liberalisme Barat, terhadap persatuan dan kesatuan
bangsa. Mereka sangat menguasai medan dan peta kekuatan politik
Indonesia, sehingga sasaran utama yang mereka bidik adalah NU, sebab NU
merupakan Organisasi Islam terbesar di Indonesia, dengan asumsi apabila
NU bisa dilumpuhkan, maka secara otomatis, mereka leluasa untuk
mengganti Idiologi Negara Pancasila dengan Idiologi Wahabi.
Menanggapi bahaya Ideologi transnasion Dr. M. Said. Aqil. Siroj,
mengatakan; ideologi transnasional dapat merusak tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Ideologi transnasion, akan menggeret agama
masuk dalam pusaran ketegangan benturan sosial, sehingga pada
gilirannya, ia akan mereduksi substansi Islam sebagai agama cinta damai
dan transendetal serta melepaskan dogmatisme agama. Sedangkan gerakan
radikal akan menghilangkan peran agama sebagai rahmat. “Karena itulah,
kedua ideologi ini tidak bermanfaat dan bahkan membahayakan NKRI,” tegas
Kiai Said doktor lulusan Umul al‑Qura Makkah, Arab Saudi, Fakultas
Ushuluddin dengan predikat Summa Comlaude ini.
Mengingat
besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh ideologi transnasional, Ketua
Pengurus Pusat Lembaga Da’wah NahdIatul Ulama (PP LDNU) PBNU, KH. Nuril
Huda meminta warga nahdliyin mewaspadai munculnya kelompok‑kelompok yang
membawa faham keagamaan baru yang marak belakangan ini. Karena, tak
sedikit di antara mereka ini yang mengaku menganut paham Ahlussunnah Wal
Jama’ah (Aswaja), namun prakteknya sama sekali tak terkait dengan
Aswaja NU, malah mengajak ke paham lain. Kelompok-kelompok tersebut
mempunyai ciri gampang menuduh bid’ah (mengada ada), sesat, bahkan kufir
terhadap warga nahdliyin. “Ada yang ngaku Jama’ah Salafiyah, namun
prakteknya keluar dari apa yang diajarkan oleh ulama‑ulama salaf.
Ulama-ulama salaf itu kan sangat menghargai perbedaan madzhab dalam
bidang ubudiyah. Tapi golongan ini tidak mengakui (perbedaan madzhab)
itu, sehingga mudah sekali mem‑bid’ah‑kan bahkan mengkafirkan orang
lain,” jelas Kiai Nuril.
Karena itu, lanjut Kiai Nuril; segenap
komponen NU harus melakukan peneguhan kembali terhadap pemahaman dan
implementasi faham Aswaja di masyarakat. Upaya tersebut untuk
membentengi warga NU dari rong-rongan kelompok-kelompok yang mengusik
kelestarian pemikiran dan budaya yang dikembangkan NU lewat ajaran
Aswaja.
Kiai Nuril mengungkapkan, kelompok‑kelompok yang
mengaku berpaham Aswaja yang kini bergentayangan di mana‑mana itu tak.
hanya berupaya mengganti tradisi keagamaan nahdliyin. Lebih dari itu,
mereka kini juga merebut masjid-masjid NU dengan mengambil alih
kepengurusan takmirnya dengan dalih karena NU syarat dengan ajaran
bid’ah.
Direktur P3M Jakarta ini juga mengatakan, dengan modal
pendanaan yang besar, mereka mempunyai misi besar memberangus
tradisi‑tradisi keagamaan NU yang mereka tuduh menyimpang dari ajaran
nabi Muhammad SAW. Tujuan akhimya, mereka ingin membersihkan NU dari
keseluruhan tradisi‑tradisi peribadatan dan keagamaannya,”
Karena itu, ia meminta kepada semua warga dan tokoh NU untu bersatu padu
dengan menjaga persaudaraan dan kekompakan antar sesama. Hanya dengan
itu, geraka .kelompok‑kelompok yang ingi menghancurkan NU dan NKRI dapat
dibendun. Beliau ”Mendesak kepada segenap warga nahdiyin dan segenap
pimpinan di semua lapisan untuk mempererat tali silaturrahmi yang tulus,
dan bebas dari kalkulasi politik sesaat,”
la juga meminta
kepada warga dan tokoh NU untuk membentengi masjid-masjid yang selama
ini digunakan sebagai pusat beribadah dari “serangan” kelompok-kelompok
yang ingi menghancurkan NU dan NKRI secara sistemik. “Saya minta kepada
warga NU dan tokoh NU membentengi mesjid-mesjid Nahdiyin. dengan
menjadikannya sebagai pusat pemberdayaan umat dan bangsa, ” katanya.
Kiai Hasyim Mudzadi lebih lanjut mengatakan: WargaNU, sudah selayaknya
menolak ideology transnasional baik yang radikal dari Timur Tengah
maupun yang liberal dari Barat. Justru itulah pihaknya sepakat dengan
Pak Ud agar NU menolak paham . ideologi transnasional. “Kami berkeliling
ke Barat dan Timur Tengah untuk mengampanyekan NU sebagai ideologi
alternatif. Kami dari NU, adalah pemimpin Islam pertama di dunia yang
datang ke “ground zero” di New York AS (lokasi pengeboman WTC pada
9‑112001) untuk menolak “kekerasan” dari Islam ideologis.
Demikian juga kami datang ke Irak, Iran, dan Palestina untuk menolak
kekerasan” dari liberalisme ala Barat,” tegas Presiden World Conference
on Relegions and Peace (WCRP) ini. Menurut Kiai Hasyim, pihaknya datang
ke Timur Tengah dan melihat, temyata Irak, Iran, dan Palestina menjadi
korban ideologi liberalisme Barat, mereka diibaratkan sebagai binatang
aduan seperti jangkrik. Mereka diadu domba intelejen asing, agar
penjajah dapat kemenangan secara gratis. NU datang ke sana dengan misi
membuat perdamaian dan mendorong agar mereka bersatu. Kami
mengampanyekan kepada mereka Islam ala NU kepada dunia bahwa NU melihat
Islam adalah agama, bukan ideologi, karena itu. apa yang terjadi di
Timur Tengah selama ini bukan Islam sebagai agama, tapi sebagai ideologi
Islam.
Agar warga NU terlindung dan dapat membentengi diri
dari serangan dan rongrongan paham di luar Aswaja, lanjut Kiai Hasyim,
maka perlu terus menerus mengkaji fikroh Nahdliyah agar menjadi matang,
yang selanjutnya menjadi pedoman warga nahdliyin.
antangan NU
sekarang ini begitu nyata, di antaranya adalah faktor regenerasi. NU
kini telah melewati tiga generasi, dan ada indikasi mengalami penurunan
perhatian pada masalah yang idealis. Kenyataan inilah yang mengakibatkan
ketidak pedulian dan ketidak tahuan generasi uda terhadap NU. Faktor
berikutnya adalah semangat kebebasan atau liberalisasi pemikiran.
Menurutnya, faktor tersebut berperan besar dalam‑ melahirkan
kelompok-kelompok. tertentu yang sekaligus menjadi tantangan bagi NU. Di
antaranya, kelompok radikal keagarnaan (tasyaddud fiddien), baik
pemikiran (tatorruf fiqri) maupun tindakan. (tatorruf haroki).
Ini sebagian besar dipicu oleh masuknya pemikiran internasionalisme
Islam (persatuan umat Islam yang berada di bawah satu kepemimpinan
tunggal) yang umumnya berasal dari Timur Tengah. Tujuannya untuk
menerapkan syariat Islam di Indonesia sesuai dengan negara yang ia
datangi,” papar Kiai Hasyim.
Kelompok tersebut, kata Kiai
Hasyim, memiliki ciri tidak menghormati perbedaan kondisi kenegaraan dan
sosial politik serta keragaman budaya setempat. Mereka hanya mengambil
alih atau menerapkan ulang suatu metodologi atau paham tanpa menghargai
kebudayaan setempat.
Masdar menambahkan, ciri‑ciri mereka ini,
kerap menuduh NU sebagai organisasi sesat dan menyimpang. Mereka menilai
NU, penuh dengan tahayyul, bid’ah dan khurafat. Hanya kelompoknya
sendiri yang dianggap paling benar dalam beragama.
Kelompok ini
begitu sistemik bergerak, baik di perkotaan maupun pedesaan. “Mereka
ini sangat terorganisir gerakannya dan semakin gencar menggerogoti
basis‑basis NU melalui penyerobotan masjid-masjid nahdliyin secara
sistematis. Bukan hanya di perkotaan, tapi juga di desa‑desa,”
Wujud dari pada internasionalisme Islam itu ada beberapa hal, Pertama,
yang bernuansa Wahabiyah (penganut paham Wahabi). Ini meliputi flkriyah
(pemikiran) dan harokiyah (gerakan). Kedua, gerakan politik yang tidak
seimbang dengan agama tetapi menggunakan tema agama, ketiga adalah
lemahnya gerakan tawassuth (moderasi). Mereka menganggap tawassuth dan
I’tidal (konsistensi) adalah tawakkuf (jumud) sehingga memunculkan
radikalisme, reaktif, bukan konsepetual. Di sisi lain, liberalisasi
pemikiran dalam agama menggunakan ukuran-ukuran Barat, sehingga
posisi-posisi fikih diganti masolihul mursalah (kaidah mengenai
kemaslahatan) yang tanpa manhaj (metode), maka lahirlah hermeneutika
(penafsiran) dengan ukuran‑ukuran ammah (masyarakat) yang tidak seimbang
antara pemikiran dengan maslahah (kesejahteraan) hidup,”
Semua
hal itu secara sistematis merupakan geraka yang mendunia. Namun, para
penganutnya di Indonesia dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu mereka
yang memang merupakan bagian dari gerakan glabal, tetapi ada juga yang
sekedar ikut‑ikutan karena khawatir kalau dianggap tidak maju.
Sebaliknya yang terjadi adalah terIalu maju. Aliran tersebut tidak kecil
pengaruhnya, karena langsun mengancam pemikiran, termasu budaya. Mereka
secara. perlahan tapi pasti akan menggantikan hampir seluruh norma
agama. “Ambil contoh, sekarang ini orang sudah tidak lagi berpikir
bersinggungan dengan lain jenis dalam keadaan berdesak‑desaka batal atau
tidak, dan tak lagi berpikir bersalaman itu mukhtalaf (masih
diperdebatkan) atau tida karena sudah lebih dari itu. Dan ini sebenarnya
bukan saja disebabkan liberalisa pemikiran, tetapi juga liberalisasi
budaya tegasnya. Saat ini upaya mengontrol terhadap pikira sudah tidak
bisa dilakukan dengan alasan bahwa pikiran adalah sesuatu yang tidak
bisa dikontrol dan diatur perundangan sehingga pakemnya menjadi hilang.
“Akhirnya Ahmadiyah yang ekstrim (zindik), yang setengah Mbah Suro
(kebatinan) ini tumbuh subur di tengah tarik menarik antara tatorruf
yamani (ekstrim kanan) yang tasyaddu (keras) dengan tatorruf yasari
(ektri kiri) yang tasyahul (menyepelekan hukum),” jelas Kiai Hasyim.
(RISALAH Edisi II Th I/Jumadil Tsaniyah 1428 H)
Salah satu
upaya untuk menangkal dan menghambat laju berkembangnya gerakan
tersebut, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Karawang, mencoba
menerbitkan buku ini, yang berisikan “mewaspadai bahaya ideologi
transnasional: radikalisme Timur‑Tengah; dan liberalisme Barat, sebagai
masukan kepada generasi muda NU khususnya dan masyarakat pada umumnya
yang masih polos dan kurang memahami sejarah bangsa. Buku ini juga
memuat, pentingnya mengenal, memahami dan mencintai NU sebagai sebuah
kajian fikroh Nahdliyah seperti yang diamanatkan KH. Hasyim Mudzadi
Pengurus Besar Nadlatul Ulama. Sebab hanya dengan Fikroh Nahdiyin yang
mengedepankan Sikap tawasuth dan I‘fidal, Sikap tatsamuh, Sikap tawazun,
dan Amar ma’ruf nahi mungkar, nasib NKRI dan Idiologi Pancasila dapat
diselamatkan.
(Buku: NU dan NKRI Dalam Bahaya, Oleh: Drs. H. Muhammad Sholihin)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar