Ijtihad Dan Taqlid
Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang terdapat nash (teks) al-qur’an dan sunnah yang jelas tentangnya.
Jadi mujtahid (orang yang
melakukan aktivitas ijtihad) ialah orang yang memiliki keahlian dalam hal ini.
Ia adalah seorang yang hafal ayat-ayat ahkam (sekitar 500 ayat),
hadist-hadist ahkam (sekitar 500 hadist), serta mengetahui sanad-sanad
dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh dan mansyukh, ‘am dan khas, muthlaq
dan muqayyad serta menguasai betul bahasa arab dengan sekira hafal pemaknaan –
pemaknaan setiap nash sesuai dengan bahasa al-Qur’an, mengetahui apa yang telah
disepakati oleh para ahli ijtihad dan apa yang diperselisihkan oleh mereka,
karena jika tidak mengetahui hal ini maka dimungkinkan akan menyalahi ijma’
(konsensus) para ulama sebelumnya.
Lebih dari
syarat-syarat di atas, masih ada sebuah syarat penting lagi yang harus terpenuhi
dalam berijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga disyaratkan
memiliki sifat ‘adalah; yaitu selamat dari dosa-dosa besar dan tidak
membiasakan berbuat dosa-dosa kecil yang bila diperkirakan secara hitungan,
jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi jumlah perbuatan baiknya.
Sedangkan muqallid (orang yang
melakukan taklid: mengikuti pendapat para mujtahid) adalah orang yang
belum sampai pada derajat tersebut di atas, sehingga mengamalkan
pendapat-pendapat mujtahid.
Dalil bahwa orang Islam terbagi kepada
dua tingkatan ini adalah hadist Nabi SAW. :
نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها فاداها
كما سمعها, فرب مبلغ لا فقه عنده. (رواه الترمذى وابن حبان)

Bagian
dari lafazh hadist tersebut memberikan pemahaman bahwa diantara sebagian orang
yang mendengar hadist dari Rosululloh SAW. ada yang hanya meriwayatkan saja, dan
pemahamannya terhadap kandungan hadist tersebut kurang dari pemahaman orang
yang mendengar darinya. Orang yang kedua ini dengan kekuatan nalar dan pemahamannya
memiliki kemampuan untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan
masalah-masalah yang terkandung di dalam hadist tersebut. Dari sini diketahui
bahwa sebagian sahabat Nabi ada yang pemahamannya kurang dari para murid dan
orang yang mendengar hadist darinya. Pada lafazh lain hadist ini:
“Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang
yang lebih paham darinya”
Dua riwayat ini diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi dan Ibnu Ibban.
Mujtahid dengan pengertian inilah yang dimaksud oleh
hadist Nabi SAW:
“Apabila seorang penguasa berijtihad dan
benar maka ia mendapatkan dua pahala dan bila salah maka ia mendapatkan satu
pahala.”(H.R al Bukhori)
Dalam
hadits ini disebutkan Penguasa secara khusus, karena ia lebih membutuhkan
kepada aktivitas ijtihad dari yang lainnya. Dikalangan ulama’ salaf terdapat para
mujtahid sekaligus penguasa, seperti al khilafah yang enam; Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Al Hasan ibn Ali, Umar ibn Abdul Aziz, Syuraih al Qodli dan
lainya.
Telah terbukti dengan data yang valid bahwa
kebanyakan ulama salaf bukan mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada ahli ijtihad
yang ada di kalangan mereka.
Dalam shahih al-Bukhari diriwayatkan bahwa seorang
buruh (pekerja sewaan) telah berbuat zina dengan istri majikannya. Lalu ayah
pekerja tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan:
“Hukuman atas anakmu adalah membayar seratus ekor
kambing dan memerdekakan seorang budak perempuan”.
Kemudian sang ayah bertanya kepada ahli ilmu, jawab
mereka:
“Hukuman atas anakmu di cambuk seratus kali dan
diasingkan satu tahun”.
Akhirnya ia datang kepada Rosululloh SAW. bersama
suami perempuan tadi dan berkata:
“Wahai Rasululloh sesungguhnya anakku ini bekerja
kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan istrinya. Ada yang berkata
kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman rajam itu
dengan membayar seratu ekor kambing dan memerdekakan seorang budak perempuan.
Lalu aku bertanya kepada ahli ilmu dan mereka menjawab hukuman anakmu adalah
dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun?”.
Rasululloh berkata:
“Aku pasti akan memberi keputusan hukum
terhadap kalian berdua dengan Kitabulloh, al wahidah (budak perempuan) dan kambing tersebut
dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan
diasingkan (dari
kampungnya sejauh jarak Qashar – sekitar 78 Km) setahun”.
Laki laki
tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia bertanya kepada para sahabat lainnya
dan jawaban mereka salah lalu ia bertanya kepada Rosululloh memberikan fatwa
yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam kejadian
ini Rosululloh memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat
sekalipun mereka mendengar langsung hadist dari Nabi namun tidak semua sahabat
memiliki kemampuan untuk menganbil hukum dari hadist Nabi.
Semakna dengan
hadist di atas, hadist yang diriwayatkan Abu Dawud tenteng seorang laki-laki
yang terluka dikepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia berhadast besar (junub), setelah ia bertanya
tentang hukumnya kepada orang-orag yang bersamanya, mereka menjawab: “Mandilah
!”. kemudian ia mandi dan meninggal karena kedinginan. Ketika Rosululloh diberi
kabar tentang hal ini, beliau berkata: ”Mengapa telah membunuhnya, semoga Alloh
membalas perbuatan mereka. Tidaklah mereka bertanya kalau memang tidak tahu,
karena obat ketidak-tahuan adalah bertanya!”. jadi obat kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu. Lalu
Rosululloh berkata: “Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayamum, dan
membalut lukanya dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi)
sisa badanya”. (H.R. Abu dawud dan lainnya). Dari kasus ini di ketahui
bahwa seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang islam untuk
melakukannya, tentulah Rosululloh tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa
kepada orang junub tersebut padahal mereka bukan ahli untuk berfatwa.
Kemudian di antara tugas khusus orang mujtahid adalah
melakukan qiyas, yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dari
sesuatu yang memiliki nash karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya.
Karena para ulama ushul Fiqh berkata: “Qiyas adalah tugas orang mujtahid”.
Jadi Ijtihad diperbolahkan bagi para ahli yang
memenuhi syarat-sayaratnya, dan bukan bagi setiap individu umat ilsam. Jika
ijtihad diperbolehkan bagi setiap muslim meski belum memenuhi syarat maka itu
akan mengantarkan pada kekacauan dalam agama dan hukum.
Dan demikian kenyataannya Alloh telah membangkitkan
untuk berkhidmad kepada agamanya para ulama’ yang amanah, bertaqwa dan wara’,
dan Alloh perintahkan agar umat merujuk kepada meraka dalam urusan agama
mereka, Alloh ta’ala berfirman:
“Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (Ahla Dzkir) jika kamu
tidak mengetahuinya”. (Q.S.
an-Nahl: 43).

Komentar